Sunday, September 13, 2009
"Every man stamps his value on himself.. Man is made gread or small by his own will" (J.C.F. Van Schiller)
Pernahkan anda memaki atau dimaki? Disebabkan oleh suatu hal atau tanpa sebab sekalipun, diduga atau tanpa diduga, agresi kata-kata kasar sering kali ikut terlibat.
Jika ada seseornag yang menawarkan lembaran uang Rp.50.000,- kepada anda, bagaimana reaksi anda?
Lalu dia melipat-lipat uang tersebut, apakah anda akan tetap mengambilnya?
Kemudian uang tersebut di dijatuhkan, diinjak-injak hingga lecek dan kotor, masih berhasratkah anda untuk memilikinya?
Sudah pasti tentunya, sebab semua yang dilakukan tidak akan mengurangi nilai uang tersebut. Nilainya tetap saja 50.000.
Kajadian dimaki atau memaki dengan kata-kata kotor mungkin mengejutkan pada kali pertama, namun cenderung mnjadi awal kebiasaan pada kali berikutnya. Menyumpah serapihi, memaki, mengumpati sama sebangun dengan tindakan owner dari lembaran uang 50.000 tadi yang melipat, menjatuhkan, melumat dan mengecek lembaran tersebut. Perilaku itu sama identiknya dengan keputusan kita, atau lingkungan kita, baik ketika mengumpati, memaki, menyumpahi, melabel atau memberikan stigmatisasi terhadap sesuatu objek atau seseorang pribadi.
Bayangkan jika yang kebetulan menjadi objek yang terkena stigmatisasi itu adalah diri anda, betapa anda akan merasa tidak bernilai. Setidaknya anda merasa bahwa harga diri anda direndahkan. Bahkan oleh apapun yang akan dan sudah terjadi pada anda. Sebenarnya, anda tidak akan kehilangan nilai diri anda. Dimaki sebagai kotor atau bersih, dekil atau perlente, berkerut atau rata, adil atau batil, diri anda tetap dan tak hilang, tak luntur, apalagi dimata orang-orang yang menyayangi anda.
Otomatisasi makian, mulai dari yang berspesies binatang piaraan, alat vital, hingga adjective words yang berhubungan dengan karakter, tampaknya makin sering kita saksikan disekitar kita, tak terkecuali dilingkungan keluarga, niaga, bisnis, parlemen, pemerintahan, di wall space virtual macam face book, bahkan di institusi keagamaan dan pendidikan, kekerasan kata menjadi banjir bandang yang kian sulit dibendung.
Sebagai contoh, mungkin diantara kita pernah menyaksikan dengan mata kepala kita sendiri bagaimana seorang guru memuntahkan makian didepan para muridnya, ternyata sampai pada pemahaman bahwa sebenarnya makian itu bukan merupakan sesuatu yang direncanakan. Makian ungkapan sarkas dan pembunuhan karakter diruang kelas oleh guru tidak dimaksudkan untuk mengoreksi kesalahan terkait pelajaran atau disiplin. Sebaliknya, merupakan data tentang inkompetensi, ketidak yakinan, bad mood, pelampiasan lain, dan sebagainya, yang kesemuanya bersumber pada kondisi para guru. Sehingga guru yang melakukan agresi kata segera kehilangan otoritas didepan kelas, dan makiannya pun kehilangan efektivitas.
Dari perspektif si pemaki, tampaknya terdapat anggapan tentang restriksi legal yang membuat mereka terbatas menanggapi tindakan yang tidak mereka sukai (adversif). Dan hal ini juga bukan karena mereka sadar tentang masih tersedianya prosedur lain, termasuk yang berlaku disuatu lingkup seperti sekolah atau keluarga misalnya. Dalam diri para pemaki terdapat dua pandangan tentang tindakan menghukum. Pertama, berupa reaksi tak terduga yang tersampaikan (contigent delivery) terhadap konsekuensi yang tak mereka sukai. Kedua, penggunaan reaksi tak terduga namun tak tersampaikan (contigent nondelivery) terhadap tindakan positif yang biasanya ditunjukkan pada perilaku yang tak diinginkan.
Faktanya, tidak ada tindakan yang terjadi tanpa dikehendaki, yang ada hanyalah kemauan yang tak tersadari. Pokok permasalahn ada pada ketaksadaran terhadap kemauan sendiri akibat terlalu banyak menunda merespon hal yang tak disukai. Padahal, merespon adalah cara mengakui eksistensi dan menghargai nilai diri sendiri tepat pada waktunya.
"Every man stamps his value on himself.. Man is made gread or small by his own will" (J.C.F. Van Schiller)
Pernahkan anda memaki atau dimaki? Disebabkan oleh suatu hal atau tanpa sebab sekalipun, diduga atau tanpa diduga, agresi kata-kata kasar sering kali ikut terlibat.
Jika ada seseornag yang menawarkan lembaran uang Rp.50.000,- kepada anda, bagaimana reaksi anda?
Lalu dia melipat-lipat uang tersebut, apakah anda akan tetap mengambilnya?
Kemudian uang tersebut di dijatuhkan, diinjak-injak hingga lecek dan kotor, masih berhasratkah anda untuk memilikinya?
Sudah pasti tentunya, sebab semua yang dilakukan tidak akan mengurangi nilai uang tersebut. Nilainya tetap saja 50.000.
Kajadian dimaki atau memaki dengan kata-kata kotor mungkin mengejutkan pada kali pertama, namun cenderung mnjadi awal kebiasaan pada kali berikutnya. Menyumpah serapihi, memaki, mengumpati sama sebangun dengan tindakan owner dari lembaran uang 50.000 tadi yang melipat, menjatuhkan, melumat dan mengecek lembaran tersebut. Perilaku itu sama identiknya dengan keputusan kita, atau lingkungan kita, baik ketika mengumpati, memaki, menyumpahi, melabel atau memberikan stigmatisasi terhadap sesuatu objek atau seseorang pribadi.
Bayangkan jika yang kebetulan menjadi objek yang terkena stigmatisasi itu adalah diri anda, betapa anda akan merasa tidak bernilai. Setidaknya anda merasa bahwa harga diri anda direndahkan. Bahkan oleh apapun yang akan dan sudah terjadi pada anda. Sebenarnya, anda tidak akan kehilangan nilai diri anda. Dimaki sebagai kotor atau bersih, dekil atau perlente, berkerut atau rata, adil atau batil, diri anda tetap dan tak hilang, tak luntur, apalagi dimata orang-orang yang menyayangi anda.
Otomatisasi makian, mulai dari yang berspesies binatang piaraan, alat vital, hingga adjective words yang berhubungan dengan karakter, tampaknya makin sering kita saksikan disekitar kita, tak terkecuali dilingkungan keluarga, niaga, bisnis, parlemen, pemerintahan, di wall space virtual macam face book, bahkan di institusi keagamaan dan pendidikan, kekerasan kata menjadi banjir bandang yang kian sulit dibendung.
Sebagai contoh, mungkin diantara kita pernah menyaksikan dengan mata kepala kita sendiri bagaimana seorang guru memuntahkan makian didepan para muridnya, ternyata sampai pada pemahaman bahwa sebenarnya makian itu bukan merupakan sesuatu yang direncanakan. Makian ungkapan sarkas dan pembunuhan karakter diruang kelas oleh guru tidak dimaksudkan untuk mengoreksi kesalahan terkait pelajaran atau disiplin. Sebaliknya, merupakan data tentang inkompetensi, ketidak yakinan, bad mood, pelampiasan lain, dan sebagainya, yang kesemuanya bersumber pada kondisi para guru. Sehingga guru yang melakukan agresi kata segera kehilangan otoritas didepan kelas, dan makiannya pun kehilangan efektivitas.
Dari perspektif si pemaki, tampaknya terdapat anggapan tentang restriksi legal yang membuat mereka terbatas menanggapi tindakan yang tidak mereka sukai (adversif). Dan hal ini juga bukan karena mereka sadar tentang masih tersedianya prosedur lain, termasuk yang berlaku disuatu lingkup seperti sekolah atau keluarga misalnya. Dalam diri para pemaki terdapat dua pandangan tentang tindakan menghukum. Pertama, berupa reaksi tak terduga yang tersampaikan (contigent delivery) terhadap konsekuensi yang tak mereka sukai. Kedua, penggunaan reaksi tak terduga namun tak tersampaikan (contigent nondelivery) terhadap tindakan positif yang biasanya ditunjukkan pada perilaku yang tak diinginkan.
Faktanya, tidak ada tindakan yang terjadi tanpa dikehendaki, yang ada hanyalah kemauan yang tak tersadari. Pokok permasalahn ada pada ketaksadaran terhadap kemauan sendiri akibat terlalu banyak menunda merespon hal yang tak disukai. Padahal, merespon adalah cara mengakui eksistensi dan menghargai nilai diri sendiri tepat pada waktunya.
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Mantap post nya. .pasti bnyak yg blm sadar bang. .
Kayaknya kejadian itu pernah terjadi pada diri saya... hehehe... Peace dah...!!!