DALAM PRAKTEK OUTSOURCING DAN PERLINDUNGAN
HAK-HAK PEKERJA
1. Pendahuluan
Perubahan dalam penerapan hasil teknologi modern dewasa ini banyak disebut-sebut sebagai salah satu sebab bagi terjadinya perubahan sosial, termasuk di bidang hukum ketenagakerjaan. Menurut Robert A. Nisbet dalam bukunya: Social Change and History, bahwa dengan timbul perubahan di dalam susunan masyarakat yang disebabkan oleh munculnya golongan buruh. Pengertian hak milik yang semula mengatur hubungan yang langsung dan nyata antara pemilik dan barang juga mengalami perubahan karenanya. Sifat-sifat kepemilikan menjadi berubah, oleh karena sekarang “ barang siapa yang memiliki alat-alat produksi” bukan lagi hanya menguasai barang, tetapi juga menguasai nasib ribuan manusia yang hidup sebagai buruh.
Dalam perspektif hukum, menurut Satjipto Rahardjo, bahwa: Pemilik barang hanya terikat kepada barangnya saja. Ia hanya mempunyai kekuasaan atas barang yang dimilikinya, tetapi apa yang semula merupakan penguasaan serta kontrol atas barang, atas pekerja upahan. Perubahan ini terjadi setelah barang itu berubah fungsinya menjadi kapital. Orang yang disebut sebagai pemilik, membebani orang lain dengan tugas-tugas, menjadikan orang itu sebagai sasaran dari perintah-perintahnya dan setidak-tidaknya pada masa awal-awal kapitalisme mengawasi sendiri pelaksaan dari perintah-perintahnya. Seorang yang semula memiliki res, sekarang bisa “memaksakan” kehendaknya kepada personae.
Dari dua pernyataan di atas, akan mengingatkan kita kepada:
• pertama, jiwa dari Pembukaan UUD 1945 dan pasal 27 (2) UUD 1945.
• Kedua, UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan (UUK). Dalam Pembukaan UUD 1945 menyatakan bahwa: Negara Indonesia melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial berdasarkan Pancasila.
Kemudian dalam pasal 27 (2) UUD 1945 menyatakan bahwa: “Setiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan “. Dari amanat para pendiri Republik dapat kita pahami bahwa tujuan pembangunan ketenagakerjaan adalah menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga negara untuk mendapatkan penghidupan yang layak.
Kedua, UUK sebagai penjabaran dari UUD 1945 dan TAP MPR, telah mengatur perlindungan terhadap hak-hak pekerja, antara lain:
1. perlindungan PHK,
2. jamsostek,
3. Upah yang layak dan tabungan pensiun.
Dalam praktek outsourcing, hak-hak tersebut merupakan sesuatu sangatlah mahal untuk didapat oleh para pekerja outsourcing. Karena status pekerja outsourcing adalah pekerja pada PT.A, tapi harus bekerja pada PT.B dengan waktu kerja: 6 bulan, 1 tahun atau 2 tahun.
1.1. Pengertian outsourcing
Di dalam UUK tidak menyebutkan secara tegas mengenai istilah dari outsourcing. Tetapi pengertian dari outsourcing ini sendiri dapat dilihat dalam ketentuan pasal 64 UUK ini, yang isinya menyatakan bahwa outsourcing adalah suatu perjanjian kerja yang dibuat antara pengusaha dengan tenaga kerja, dimana perusahaan tersebut dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
Menurut Pasal 1601 b KUH Perdata, outsoucing disamakan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Sehingga pengertian outsourcing adalah suatu perjanjian dimana pemborong mengikat diri untuk membuat suatu kerja tertentu bagi pihak lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu.
Outsourcing berasal dari kata out yang berarti keluar dan source yang berarti sumber. Dari pengertian-pengertian di atas maka dapat ditarik suatu definisi operasional mengenai outsourcing yaitu suatu bentuk perjanjian kerja antara perusahaan A sebagai pengguna jasa dengan perusahaan B sebagai penyedia jasa, dimana perusahaan A meminta kepada perusahaan B untuk menyediakan tenaga kerja yang diperlukan untuk bekerja di perusahaan A dengan membayar sejumlah uang dan upah atau gaji tetap dibayarkan oleh perusahaan B.
Outsourcing adalah alternatif dalam melakukan pekerjaan sendiri. Tetapi outsourcing tidak sekedar mengontrakkan secara biasa, tetapi jauh melebihi itu. Maurice F. Greaver II memberikan definisi outsourcing sebagai berikut :
“Outsourcing is the act of transferring some of a company’s recurring internal activities and decision rights to outside provider, as set forth in a contract. Because the activities are recurring and a contract is used, outsourcing goes beyond the use of consultants. As a matter of practise, not only are the activities transferred, but the factor of production and decision rights often are, too. Factors of production are the resources that make the activities occur and include people, facilities, equipment, technology, and the other asset. Decision rights are the responsibility for making decisions over certain elements of the activities transferred”.
Menurut Shreeveport Management Consultancy, outsourcing adalah “ The transfer to a third party of the continous management responsibility for the provisionof a service governed by a service level agreement “.
Patut juga dikutip pendapat Rohi Senangun, bahwa pola perjanjian kerja dalam bentuk outsourcing secara umum adalah ada beberapa pekerjaan kemudian diserahkan ke perusahaan lain yang telah berbadan hukum, dimana perusahaan yang satu tidak berhubungan secara langsung dengan pekerja tetapi hanya kepada perusahaan penyalur atau pengerah tenaga kerja.8 Pendapat lain menyebutkan bahwa outsourcing adalah pemberian pekerjaan dari satu pihak kepada pihak lainnya dalam 2 (dua) bentuk,yaitu :
1. Mengerahkan dalam bentuk pekerjaan.
Misalnya : PT. Pusri sebagai pemberi kerja, menyerahkan pekerjaanya kepada PT. HAR untuk melaksanakan pekerjaan pengantongan pupuk.
2. Pemberian pekerjaan oleh pihak I dalam bentuk jasa tenaga kerja.
Misalnya : PT. Jimmigo yang menyediakan jasa tenaga kerja yang ahli untuk dapat bekerja di PT. Conocophilips.
Model outsourcing dapat dibandingkan dengan bentuk perjanjian pemborongan bangunan walaupun sesungguhnya tidak sama. Perjanjian pemborongan bangunan dapat disamakan dengan sistem kontrak biasa sedangkan outsourcing sendiri bukanlah suatu kontrak. Pekerja/buruh dalam perjanjian pemborongan bangunan dapat disamakan dengan pekerja harian lepas seperti yang diatur dalam Peraturan Menteri Tenaga Kerja NR : PER . 06 / MEN / 1985 tentang Perlindungan Pekerja Harian Lepas PHL). PHL adalah pekerja yang bekerja pada pengusaha untuk melakukan suatu pekerjaan tertentu dan dapat berubah-ubah dalam hal waktu maupun volume pekerjaan dengan menerima upah yang didasarkan atas kehadiran pekerja secara harian. Sebagai contoh adalah pekerja tanam tebu atau tebang tebu pada Pabrik Tebu PT. Cinta Manis di Kab, OKI.
Perjanjian pemborongan bangunan akan berakhir antara pengusaha dengan pekerja apabila obyek perjanjian telah selesai dikerjakan. Misalnya pembangunan jembatan, dalam hal jembatan telah selesai maka masa bekerjanya pun menjadi berakhir kecuali jembatan tersebut belum selesai dikerjakan. Sedangkan dalam outsourcing masa bekerja akan berakhir sesuai dengan waktu yang telah disepakati antara pengusaha dengan perusahaan penyedian jasa tenaga kerja.
1.2. Ketentuan Mengenai Outsourcing
Perjanjian outsourcing dapat disamakaan dengan perjanjian pemborongan pekerjaan. Ketentuan outsourcing di dalam UUK 2003 diatur dalam Pasal 65:
Pasal 65 mengatur :
1. Penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lain dilaksanakan melalui perjanjian pemborongan pekerjaan yang dibuat secara tertulis.
Perusahaan dalam hal ini dapat menyerahkan sebagian pelaksanaan pekerjaannya kepada perusahaan lainnya melalui :
a. Pemborongan pekerjaan; atau
b. Penyediaan jasa pekerja.
2. Pekerjaan yang dapat diserahkan kepada perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
a. Dilakukan secara terpisah dari kegiatan utama;
b. Dilakukan dengan perintah langsung atau tidak langsung dari pemberi pekerjaan;
c. Merupakan kegiatan penunjang perusahaan secara keseluruhan; dan
d. Tidak menghambat proses produksi secara langsung.
3. Perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1) harus berbentuk badan hukum.
4. Perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja bagi pekerja/buruh pada perusahaan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (2) sekurang-kurangnya sama dengan perlindungan kerja dan syarat-syarat kerja pada perusahaan pemberi pekerjaan atau sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
5. Perubahan dan/atau penambahan syarat-syarat sebagaimaan dimaksud pada ayat (2) diatur lebih lanjut dengan keputusan menteri.
6. Hubungan kerja dalam pelaksanaan pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam perjanjian kerja secara tertulis antara perusahaan lain dan pekerja/buruh yang diperkerjakannya.
7. Hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dapat didasarkan atas perjanjian-perjanjian kerja waktu tidak tertentu atau perjanjian kerja waktu tertentu apabila memenuhi persyaratan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 59.
8. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), dan ayat (3), tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan penerima pemborongan beralih menjadi hubungan kerja pekerja/buruh dengan perusahaan pemberi kerja.
9. Dalam hal hubungan kerja beralih ke perusahaan pemberi pekerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (8), maka hubungan kerja pekerja/buruh dengan pemberi pekerjaan sesuai dengan hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada ayat (7).
Pasal 66 mengatur :
1. Pekerja/buruh dari perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh tidak boleh digunakan oleh pemberi kerja untuk melaksanakan kegiatan pokok atau kegiatan yang berhubungan langsung dengan proses produksi kecuali untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi.
2. Penyedia jasa pekerja/buruh untuk kegiatan jasa penunjang atau kegiatan yang tidak berhubungan langsung dengan proses produksi harus memenuhi syarat sebagai berikut :
a. Adanya hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
b. Perjanjian kerja yang berlaku dalam hubungan kerja sebagaimana dimaksud pada huruf a adalah perjanjian kerja untuk waktu tertentu yang dibuat secara tertulis dan ditandatangani oleh kedua belah pihak;
c. Perlindungan upah dan kesejahteraan, syarat-syarat kerja, serta perselisihan yang timbul menjadi tanggung jawab perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh;
d. Perjanjian antara perusahaan pengguna jasa pekerja/buruh dan perusahaan penyedia pekerja/buruh dibuat secara tertulis dan wajib memuat pasal sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini.
3. Penyedia jasa pekerja/buruh merupakan bentuk usaha yang berbadan hukum dan memiliki izin dari instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan.
4. Dalam hal ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) huruf a, huruf b, dan huruf d serta ayat (3) tidak terpenuhi, maka demi hukum status hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan penyedia jasa pekerja/buruh beralih menjadi hubungan kerja antara pekerja/buruh dan perusahaan pemberi pekerjaan.
Ketentuan lain mengenai outsourcing diatur di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata buku ketiga bab 7A bagian keenam tentang Perjanjian Pemborongan Pekerjaan, yaitu:
1. Perjanjian pemborongan pekerjaan adalah suatu perjanjian dimana pihak kesatu pemborong mengikatkan diri untuk membuat suatu karya tertentu bagi pihak yang lain yang memborongkan dengan menerima bayaran tertentu dan dimana pihak yang lain yang memborongkan mengikatkan diri untuk memborongkan pekerjaan kepada pihak pemborong dengan bayaran tertentu.
2. Dalam perjanjian pekerjaan tidak ada hubungan kerja antara perusahaan pemborong dengan perusahaan yang memborongkan sebab dalam perjanjian tersebut tidak ada unsur “upah” sebagai salah satu syarat adanya hubungan kerja. Jadi yang ada harga borongan.
3. Hubungan antara pemborong dengan yang memborongkan adalah hubungan perdata murni sehingga jika terjadi perselisihan maka penyelesaiannya dilaksanakan melalui Pengadilan Negeri.
4. Perjanjian/perikatan yang dibuat secara sah oleh pemborong dengan yang memborongkan pekerjaan tunduk pada KUH Perdata Pasal 1338 jo Pasal 1320 yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.
5. Untuk sahnya suatu perjanjian/perikatan harus dipenuhi 4 syarat yaitu :
a. sepakat mereka yang mengikatkan diri;
b. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
c. suatu hal tertentu;
d. suatu sebab yang halal.
6. Dalam perjanjian pemborongan pekerjaan dapat diperjanjikan bahwa :
a. pemborong hanya untuk melakukan pekerjaan ;
b. pemborong juga akan menyediakan bahan-bahannya.
7. Dalam hal pemborong juga harus menyediakan bahan-bahannya dan hasil pekerjaanya kemudian karena apapun musnah sebelum diserahkan maka kerugian tersebut dipikul oleh pemborong kecuali yang memborongkan lalai untuk menerima hasil pekerjaan tersebut.
8. Dalam hal pemborong hanya harus melakukan pekerjaan dan hasil pekerjaan tersebut musnah maka pemborong hanya bertanggung jawab atas kemusnahan tersebut sepanjang hal itu terjadi karena kesalahan pemborong.
9. Jika hasil pekerjaan diluar kelalaian dari pihak pemborong, musnah sebelum penyerahan dilakukan dan tanpa adanya kelalaian dari pihak yang memborongkan untuk memeriksa dan menyetujui hasil pekerjaan tersebut maka pemborong tidak berhak atas harga yang dijanjikan kecuali jika barang itu musnah karena bahan-bahannya ada cacatnya.
10. Jika pekerjaan yang diborongkan dilakukan secara potongan atau ukuran, maka hasil pekerjaan dapat diperiksa secara sebagian demi sebagian.
11. Perjanjian pemborongan pekerjaan berakhir karena meninggalnya pemborong.
12. Jika pemborong meninggal dunia maka yang memborongkan pekerjaan wajib membayar kepada ahli waris pemborong hasil pekerjaan yang telah selesai dan harga bahan bangunan yang telah diselesaikan menurut perbandingan dengan harga yang telah diperjanjikan asal hasil pekerjaan itu atau bahan bangunan tersebut ada manfaatnya bagi pihak yang memborongkan.
13. Pemborong bertanggung jawab atas tindakan pekerja yang diperkerjakan.
14. Pekerja yang memegang barang milik orang lain untuk mengerjakan sesuatu pada barang itu berhak menahan barang tersebut sampai biaya dan upah dibayar seluruhnya, kecuali telah dikeluarkan tanggungan secukupnya.
2. Praktek Outsourcing dan Perlindungan Hak-hak Pekerja
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha dapat diwajibakan oleh P4 D atau P.N. ( Dalam UU No.2 tahun 2004 disebut Pengadilan Hubungan Industrial) untuk membayar uang pesangon (UP) dan atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (PH). Untuk UP menurut pasal 156 (2) UUK paling sedikit:
a. Masa kerja kurang dari 1 tahun, .........................................................1 bulan upah
b. Masa kerja 1 tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 tahun,.................. 2 bulan upah
c. Masa kerja 2 tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 tahun,...................3 bulan upah
d. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 tahun, ............... 4 bulan upah
e. Masa kerja 4 tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 tahun, ................5 bulan upah
f. Masa kerja 5 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, ................. 6 bulan upah
g. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 tahun, ................ 7 bulan upah
h. Masa kerja 7 tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 tahun, ................ 8 bulan upah
i. Masa kerja 8 tahun atau lebih, ……………………………............... 9 bulan upah
Sedangkan besarnya UPMK menurut pasal 156 (3) UUK sebagai berikut:
a. Masa kerja 3 tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 tahun, ..................2 bulan upah
b. Masa kerja 6 tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 tahun, ............... 3 bulan upah
c. Masa kerja 9 tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 tahun, ............... 4 bulan upah
d. Masa kerja 12 tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 tahun, ............ 5 bulan upah
e. Masa kerja 15 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, ............. 6 bulan upah
f. Masa kerja 18 tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 tahun, ............ 7 bulan upah
g. Masa kerja 21 tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 tahun, ............ 8 bulan upah
h. Masa kerja 24 tahun atau lebih, ...................................................... 10 bulan upah
Untuk UPH dalam pasal 156 (4) UUK meliputi:
1. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
2. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat di mana pekerja diterima bekerja.
3. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan sebesar 15 % dari UP dan UPMK bagi yang memenuhi syarat;
4. hal-hal lain ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau PKB.
Dengan perjanjian kerja dalam bentuk outsourcing, maka pasal 156 (2) dan 156 (3) UUK, akan terkesan hanya menjadi hiasan dalam UUK. UP dalam pasal 156 (2) maksimum hanya untuk upah 2 bulan kerja. Sebab dalam prektek, sebagai berikut:
1. UP dalam pasal 156 (2) maksimum hanya untuk upah 2 bulan kerja, sebab lama bekerja bervariasi 6 bulan, 1 tahun dan 2 tahun.
2. UPMK pasal 156 (3) tidak mungkin didapat oleh para pekerja outsourcing, karena pekerja yang di phk minimal telah bekerja selama 3 tahun untuk mendapatkan UPMK 2 bulan upah.
3. UPH seperti biaya atau ongkos pulang untuk pekerja dan keluarganya ke tempat di mana pekerja diterima bekerja, sangat jarang untuk didapat oleh pekerja; sebab lamaran penerimaan dan seleksi dilakukan di kota tempat perusahaan. Apalagi jenis pekerjaannya tidak memerlukan keahlian khusus.
2.1. Hak Jamsostek
Hak pekerja outsourcing terhadap jamsostek, tidak jelas disebutkan di dalam perjanjian kerjanya. Pekerja outsourcing pada PT.Jamsostek mencantumkan hak untuk mendapatkan jaminan dari 4 program jamsostek, yaitu: 1. program jaminan kecelakaan kerja, 2. program jaminan kematian, 3. program jaminan tabungan hari tua, 4 program jaminan pemeliharaan kesehatan. Namun yang menjadi pertanyaan tentang hak terhadap program jaminan tabungan hari tua. Sebab perjanjian kerja outsourcing waktunya paling lama 2 tahun.
2.2. Hak Upah Yang Layak dan Hak Tabungan Pensiun
Upah yang diperoleh oleh pekerja outsourcing biasanya dalam bentuk Upah Minimum Propinsi (UMP) yang besarnya untuk Sumatera Selatan berkisar sekitar Rp. 504.000,-. Walaupun ada kenaikan upah setiap tahun, hal tersebut dikarenakan adanya perubahan Peraturan Daerah tentang UMP untuk penyesuaian saja.
Kehendak untuk mendapatkan upah yang layak, jauh dari harapan para pekerja outsourcing. Untuk pekerja tetap saja belum tentu mendapat upah yang layak. Namun paling tidak ada kreteria dalam penentuan skala upah, misalnya melalui penjenjangan upah.
Demikian juga terhadap tabungan pensiun tidak mungkin akan didapatkan oleh pekerja outsourcing, walaupun mereka selalu memperpanjang perjanjian dari waktu ke waktu. Oleh karena itu perlu ada ketegasan dalam peraturan per-uu-an bahwa setelah kontrak pertama atau kedua berakhir, pekerja outsourcing harus diangkat menjadi pekerja tetap pada perusahaan tersebut.
3. Penutup
1. Amanat para pendiri Republik yang terkandung di dalam Pasal 27 (2) UUD 1945 tentang hak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak, tidak berlaku diskriminatif terhadap pekerja outsourcing. Meskipun pada mulanya sebagai pekerja outsourcing, namun setelah itu hendaknya harus diangkat menjadi pekerja tetap dengan segala haknya untuk mendapatkan penghidupan yang layak.
2. Pola perjanjian kerja outsourcing tidak dapat disamakan dengan perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT). Untuk PKWT sifat pekerjaan dan waktu kerjanya memang terbatas karena merupakan jenis pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya, sehingga apabila pekerjaannya telah selesai dilakukan maka berakhirlah hubungan kerja itu. Di dalam PKWT pekerjaan yang dilakukan merupakan pekerjaan yang bersifat pokok. Pada outsourcing sifat pekerjaannya adalah pekerjaan penunjang dan bukan pekerjaan pokok perusahaan, tetapi pekerjaan tersebut dilakukan secara terus menerus (cleaning servis, petugas keamanan, petugas parkir).
3. Pekerjaan-pekerjaan outsourcing tidak saja dilakukan oleh pekerja yang memiliki pendidikan menengah dan rendah, tetapi juga dilakukan oleh pekerja yang memiliki pendidikan tinggi, seperti akuntan.
4. Pasal-pasal yang mengatur mengenai outsourcing, harusnya dapat ditinjau kembali dengan diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk dilakukan amandemen, karena jiwa pasal pasal tersebut tidak sesuai dengan pasal 27 (2) UUD 1945.
5. Dibuat suatu peraturan pelaksana yang didalamnya menyebutkan secara tegas tentang kualifikasi dari suatu pekerjaan tambahan/penunjang bagi pekerja/buruh outsourcing.
6. Perusahaan-perusahaan outsourcing, hendaknya tidak bernaung di bawah perusahaan penerima jasa karena hal tersebut adalah merupakan bentuk rekayasa dari perusahaan penerima pekerja.
7. Pekerjaan-pekerjaan yang bersifat pokok atau yang berhubungan langsung dengan proses produksi hendaknya tidak dimasukkan di dalam pola kerja outsourcing.
8. Perbedaan yang terjadi antara PKWT dan outsourcing di dalam prakteknya harus dibedakan dengan jelas. Agar tidak menimbulkan suatu kebingungan dan anggapan bahwa telah melanggar aturan hukum.
9. Bagi pekerja yang berpendidikan tinggi hendaknya tidak melakukan pekerjaan outsourcing, tetapi mereka dipindahkan kepada pekerjaan-pekerjaan pokok di perusahaan sehingga tidak menimbukan pemborosan sumber daya manusia.
Ck.ck.ck... Kalu ada pemilihan caleg jambo.. Aku pilih didi.. Wakaka.
hidup,didi,,,,
merdeka,,